"(Ingatlah) tatkala
pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung kedalam gua lalu mereka berdoa,
"Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS al-Kahfi:10).
kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah
kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota
itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota
itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah
Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah
raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang
menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai
kota
Aphesus.
Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah
Istana."
Raja itu
kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat
dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi
barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia
akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya.
Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia
disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu
hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan
mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu,
bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan
maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan
bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh
dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana.
Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang
bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia
berpikir, lalu berkata di dalam hati, "Kalau Diqyanius itu benar-benar
tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur,
tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang
pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang
dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima
kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan
dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya
bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?'
'Teman-teman,'
sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak
ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'
Teman-temannya
mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'
'Sudah
lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku lalu bertanya
pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang
senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang
menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit
itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?'
Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan
menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil
berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada
di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi
kita semua!'
'Saudara-saudara,'
jawab Tamlikha, 'baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!'
'Kami
setuju dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.
Tamlikha
lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya
berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam
kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang
temannya.
Setelah
berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya,
'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh,
sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh
itu.
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka
bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?'
'Aku mempunyai
semua yang kalian inginkan,' sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah
kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan
diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!'
'Ah…,
susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak
boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?'
'Ya,' jawab penggembala itu.
Tamlikha
dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar
cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, 'Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku
hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan
segera kembali lagi kepada kalian.'
Tamlikha
bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya. Ketika enam orang pelarian
itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita
khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka
minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu
akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka
naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.
Secara
tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras
sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing
yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki
depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan
Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari
mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari
kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit
condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir
terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu
ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam
orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas
bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan
diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada
para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa
diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka
segera datang ke mari!'
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja
berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu.,
Dalam gua
tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah
masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan
baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang
lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata
air!'
Setelah
mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering
kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT
membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, 'Siapakah diantara
kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa
mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati
benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.'
Tamlikha
kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk
mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan
ambillah bajuku ini!
Setibanya
di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti,
apakah nama kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.
'Siapakah
nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi. 'Abdurrahman,' jawab penjual roti.
'Kalau
yang kau katakan itu benar,' kata Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh sekali!
Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!'
Melihat
uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu
uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat."
Penjual
Roti lalu berkata kepada Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya
engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak,
engkau akan ku hadapkan kepada raja!'
Aku tidak
menemukan harta karun,' sangkal Tamlikha. 'Uang ini ku dapat tiga hari yang
lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian
meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!'
Penjual
roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah engkau menemukan harta karun
masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau
telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan,
padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan
begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'
Tamlikha
lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini
seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang
yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita tentang orang ini?' 'Dia menemukan
harta karun,' jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada
Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan
supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah
yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.'
Tamlikha
menjawab, 'Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah
penduduk kota ini!'
Raja
bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut
Tamlikha.
'Adakah
orang yang kau kenal?' tanya raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.
'Coba
sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang
lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh
orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. 'Ah…, semua itu bukan nama
orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai
rumah di kota ini?'
'Ya,
tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang menyertai aku!'
Raja
kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha
mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya
di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, 'Inilah rumahku!'
Pintu
rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia.
Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir
menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu
bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian ada perlu apa?'
Utusan
raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang muda ini mengaku rumah ini adalah
rumahnya!'
Orang tua
itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa
namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'
Orang tua
itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!' Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba
orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. 'Ini adalah
datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri
dari Diqyanius, raja durhaka."
Comments
Post a Comment