Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi.Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan
bahwa seni adalah
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan
dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh
indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan
perantaraan gerak (seni tari, drama).
Adapun
seni musik adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang
keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara
memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran
musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumental
(tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumental,
Seperti telah dijelaskan di awal, music adalah seni yang diperdengarkan melalui
media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan
cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan
instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik
tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik
majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya.
Tinjauan Fiqih Islam
Dalam
pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, Berdasarkan variasi dan kompleksitas
fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Paling tidak, ada 4
(empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi,
yaitu:
Pertama,
hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua,
hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga,
hukum memainkan alat musik.
Keempat,
hukum mendengarkan musik..
1. Hukum
Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni).
Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing
mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing,
seperti diuraikan oleh al-Ustadz
Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi
Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu
A. Dalil-Dalil Yang
Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan
firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
(Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal
hadits ini
sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman
nyanyian adalah
Dan perdayakanlah siapa saja di antara mereka yang
engkau (Iblis) sanggup dengan suaramu (yang memukau), kerahkanlah pasukanmu
terhadap mereka, yang berkuda dan yang berjalan kaki, dan bersekutulah dengan
mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah kepada mereka." Padahal
setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka. (Qs. al-Isrâ’ [17]: 64
b. Hadits
Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku
golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).”
[HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
hadits no. 5590].
c. Hadits
Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan
nyanyian-nyanyian (qoynah) dan
menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.”
Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi
Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits
dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq,
seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi
Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits
dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT
mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul
tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.”
[HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara
yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan
iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika
mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya
dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang
Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman
Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan
janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah
[5]: 87).
b. Hadits
dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam
perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan
telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?”
sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah
yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid
Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i
Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau
duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang
hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang
yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka
berkata: “Di
antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”
Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa
yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari,
dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari
Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba
Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan
karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari
Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang
melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu
Hasan berkata:
“Aku pernah bersya’ir di masjid dan di
sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)”
[HR. Muslim, juz II, hal. 485].
Imam
asy-Syafi’i mengatakan
bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling
bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya,
kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang
lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal)
sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika
terjadi nasakh (penghapusan
hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul
Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil
hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan
kompromi (jama’)
di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak
bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan
sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan
salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah
bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan,
menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis),
yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang
dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil
yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil
yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada
batasan atau kriterianya) (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa
Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa
nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang
mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau
kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il),
atau sarana (asy-yâ’),
misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur
baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya
mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme,
liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan
pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah
bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya
memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat,
mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam,
hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas,
hal. 103).
3.2. Hukum Mendengarkan
Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan
Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi
tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada
perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar
lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl
(perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud
bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum
af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah.Af-‘âl jibiliyyah adalah
perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia,
seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan,
minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang
tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa
dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl
al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah
mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu,
melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah).
Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu,
kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus
untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’.
Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya
melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar.
Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya
adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara
halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian.
Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu
aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf
nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang
mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi
perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram.
Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang
tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula
hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah,
bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah
yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung
kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf
nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian
melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik).
Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu,
ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah
iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian
Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan
sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain,
yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam
bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan
mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah
sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses
menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari
sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi,
yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana,
dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’
al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian
(istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang
mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang
melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran,
maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika
seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan
nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram
(misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran,
maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa
Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk
bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs.
an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk
bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm
[6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat
Musik
Bagaimanakah
hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya?
Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang
dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau
al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan
tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir
al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina
Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari
Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik
ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan
ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh
Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang
mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya,
seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih,
seperti Ibnu Shalah dalamMuqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam
Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar
dalamTaghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam
Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah danImam
Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani
dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapatIbnu Hazm dalam
Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh
Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam
kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada perincian
dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini
[dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah
terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya,
memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika
ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik
tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada
hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan
Musik
a. Mendengarkan Musik Secara
Langsung (Live)
Pada dasarnya
mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung,
seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya,
hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah
tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam
pelaksanaannya.
Jika terdapat
unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau
terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di
Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum
mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan
hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung
pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk
musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya
didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV,
kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal
pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’
al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh,
selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun
demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila
diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan
dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram
haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.”
(Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
SALAM GENERASI PERUBAHAN
Hafiz Hisbullah
Comments
Post a Comment