Skip to main content

laskar kerikil


laskar kerikil
Saat langit berwarna Merah Saga
Dan kerikil perkasa berlarian
Meluncur laksana puluhan peluru
Terbang bersama teriakan takbir….
(SHOTUL HARAOKAH – MERAH SAGA)



“Syamil…Syamil…Ayo cepat… Kita sudah terlambat…” tiga orang anak-anak paruh baya berteriak didepan sebuah rumah.
“Ya, Akhi, sebentar lagi aku datang!!!” terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Akbar, aku sudah tidak sabar untuk datang ke sekolah. Ini akan menjadi sejarah yang tak terlupakan.” kata Zaid.
“Ya, Zaid. Aku juga tidak sabar. Ingin tahu bagaimana rasanya belajar di sekolah baru. Kata Ibu, karna semuanya serba baru, pelajarannya juga baru dan susah” jawab Akbar.
“Ah, Ibu terlalu berlebihan. Kalau kita selalu  istiqomah, pasti kesulitan akan dapat kita hadapi. Seiring berjalannya waktu, pasti pelajaran akan kita kuasai.” Ali sang adik menimpali.
Tidak berapa lama kemudian, Syamil yang ditunggu-tunggu pun datang, “Maaf, aku terlambat. Aku harus membantu Ibu mengisi karung jerami untuk dijual”
“Tidak apa-apa Syamil. Ayo kita berangkat.”
Zaid, Syamil,  dan si kembar, Akbar dan Ali adalah empat sahabat yang selalu bersama-sama. Mereka telah bersahabat semenjak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Zaid adalah anak dari petani sayur, Syamil merupakan anak dari penjual jerami sedangkan si kembar, Akbar dan Ali adalah anak dari buruh kasar di Gaza. Keempat nya masih belia, Zaid dan Syamil berusia tiga belas tahun, sedangkan si kembar dua belas tahun.
Hari ini adalah hari pertama bagi mereka sekolah lagi. Sudah dua tahun mereka tidak bersekolah karna sekolah mereka yang lama telah hancur tinggal puing terkena serangan roket-roket Israel jahanam, merekapun harus menunggu sekolah baru dibangun.
“Zaid, kau begitu senang kelihatannya?” tanya Syamil.
“Tentu saja aku senang, Syamil. Kita akan masuk sekolah lagi. Ini sudah lama kita impikan, bukan? Sudah lama kita menunggu sekolah baru itu selesai dibangun dan hari ini kita akan menjadi orang yang pertama yang bersekolah disekolah baru itu”
“Beristigfarlah sebanyak-banyaknya Akhi. Tidak sadarkah kau, bagaimana dengan saudara-saudara kita ditempat lain. Apakah mereka bisa bersekolah seperti kita? Apakah mereka bisa beriang hati seperti kita? Kenapa kau begitu girangnya? Beistigfarlah saudaraku!”
Zaid terdiam. Dia beristigfar.
Digedung sekolah yang baru, anak-anak berbaur dengan yang lainnya. Mereka begitu bahagia, dengan sekolah baru mereka.
Empat sahabat duduk dikelas yang sama. Pelajaran pertama pagi ini adalah Matematika. Ustadzah Laila menjadi wali kelas mereka. Seorang guru muda yang baik hati.
“Betul kata Ibu, pelajaran tambah sulit saja!” kata Akbar.
“Iya. Aku baru tahu kalau Matematika tidak hanya berhitung, tambah, kurang,  bagi, dan kali saja “ timpal Syamil.
“Ini baru permulaan, sahabat. Pelajaran-pelajaran sulit lainnya akan menunggu kita nanti dan besok.” Zaid ikut menimpali
“Sahabatku. Jangan terlalu berlebihan. Akbar, kau jangan memulai, jangan  buat takuti sahabat-sahabat kita dengan pelajaran ini.” Ali marah pada Akbar, “Pelajaran yang sulit hanyalah bagian terkecil dari ujian Allah, dan kita harus selalu yakin, kita bisa.”
Pelajaran Matematika selesai. Selanjutnya Ustadzah Laila meminta para siawa untuk melukiskan sesuatu yang di inginkan oleh masing-masing dari mereka.
“Kau tahu ini Ali? Ini adalah lukisan Masjidil Aqsa di Yerussalem. Suatu saat aku akan kesana” kata Syamil dengan bangganya menunjukkan lukisan karyanya.
“Bagus sekali lukisanmu Syamil.”
“Ya, lukisan ini akan aku tunjukan kepada Ibu.”
“Kalau kau kesana Syamil, ajak serta kami ya!!!”
“Iya. Kita akan kesana bersama-sama.”
Anak-anak masih hanyut dengan kegiatannya masing-masing. Dan tanpa terasa waktu pun berlalu.
“Baik lah anak-anak. Pelajaran kita sudah cukup untuk hari ini. Kita bertemu lagi besok.” Ustadzah Laila menutup pelajaran.      Semuanya bersiap-siap untuk pulang. Zaid memimpin teman-teman sekelasnya berdoa sebelum pulang.
Tiba-tiba suasana menjadi kacau, “Ustadzah Laila, cepat bawa anak-anak keluar sekolah…” teriak Ustazd Yusuf  ke  Ustadzah Laila.
“Ada apa Ustadz?”
“Tank-tank Israel datang…”
Ustadzah Laila berusaha tenang. Anak-anak muridnya dibimbing untuk keluar secepatnya. Suasana yang tadi ceria, seketika berubah menjadi mencekam. Anak-anak berteriak memanggil orang tuanya. Diluar pun dentuman bom membahana, bunyi sirene dari ambulans Bulan SAyaht Merah meriuhkan suasana.
“Ustadzah, aku takut…!!!” kata seorang anak perempuan sambil memeluk Ustadzah Laila.
“Tenang anakku, kita akan selamat.”
“Ayo, ustadzah bawa anak-anak keluar lewat pintu belakang.” Kembali ustadz Yusuf berteriak.
Ketika semua berlari keluar. Syamil melupakan sesuatu. Lukisan Masjidil Aqsa nya tertinggal di kelas. Syamil berlari. Sementara itu tank-tank Israel terus menembak ke segala penjuru.
“Syamil kamu mau kemana?” teriak Ustadzah Laila. “Ustadzah Zainab, tolong bawa anak-anak ini keluar. Saya akan meyusul nanti.”
“Hati-hati Ustadzah Laila!”
Ustadzah Laila kemudian berlari mengejar Syamil. Tiba-tiba…BRUUUKK…bagian gedung runtuh dan Zaid tertimpa reruntuhan gedung itu. Kaki nya terhimpit dinding besar yang runtuh. Ustadzah Laila mencoba menyelamatkan Syamil. Dicobanya mengangkat reruntuhan itu. Syamil menangis. “Tenang anakku.”
Setalah beberapa lama Ustadzah Laila mencoba menyelamatkan Syamil, akhirnya Syamil dapat dibebaskan. Kaki nya berlumuran darah. Ustadzah Laila merangkulnya dan mengendongnya keluar. Syamil terlihat perih menahan rasa sakit. Gulungan lukisan Al Aqsa masih digengamannya.
Ustadzah Laila berhasil membawa Syamil keluar dan ambualns dari Bulan sAyaht Merah menghampiri mereka. Syamil diangkut kerumah sakit.
Dari kejauhan guru-guru dan para siswa yang baru menginjakkan kakinya disekolah itu memandang miris kearah sekolah mereka. Gedung sekolah yang baru dibangun itu telah hancur, rata dengan tanah oleh tembakan tank dan ledakan bom Israel biadab. Hati mereka hancur. Jiwa mereka betambah benci kepada zionis keji itu.
¤ ¤ ¤


5 tahun kemudian
“Syamil…Syamil…!!!! Ayo cepat, mereka sudah datang. Bahkan salah enam rumah telah mereka hancurkan.” Tiga orang pemuda berteriak-teriak dari luar rumah.
Seorang pemuda tegopoh-gopoh keluar dari rumah nya. Kakinya buntung, sebuah tongkat diapit di bawah lengannya untuk menyangga tubuhnya.
Itulah Syamil, yang  kehilangan kakinya lima tahun yang lalu. Dan tiga pemuda yang memanggilnya tadi adalah Zaid dan si kembar Akbar dan Ali. Mereka telah tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang tangguh. Mereka selalu bersama-sama berjuang melawan tentara Yahudi yang telah menghancurkan sekolah mereka dulu.
“Syamil, kau puasa. Alhamdulilah masih. Kalian sendiri?’
“Alhamdulilah.”
“Zaid, dimana kau melihat mereka?” tanya Syamil.
“Di perbatasan. Mereka berjumlah sepuluh orang. Mereka menaiki mobil yang biasa mereka pakai untuk patroli”
“Apa rencana kalian Kembar?” Tanya Syamil ke si kembar Akbar dan Ali.
“Kami sudah menyiapkan sejumlah kerikil dan beberapa ketapel, serta anak panah dan busur nya. Kami juga sudah membuat bom Molotov. Kami simpan di tas ini.” kata Ali.
“Kita akan mulai menyerang mereka, ketika mereka turun dari mobil. Masing-masing dari kita secara terus menerus menembak mereka dengan kerikil, dan kemudian kita bakar mobil nya dengan bom ini.” tambah Akbar.
“Rencana yang bagus. Terus, bagaimana dengan teman-teman yang lain?”
“Mereka akan melakukan hal yang sama. Walau senjata kita hanya dengan kerikil, yang sangat tidak mungkin menjadi lawan senjata-senjata api tentara Israel, tapi apAyahla kita bersama-sama, aku yakin kita bisa menang.” kata Ali.
Bersama-sama pemuda dan anak-anak yang lain, mereka menuju perbatasan. Dari kejauhan memang terlihat dua mobil patroli Israel akan memasuki kota Gaza.
Ramadhan kali ini tidak lah menyurut semangat para lasar-laskar kerikil tersebut, justru mereka terus bergelora dihatinya untuk terus menghadang musuh. Rasa lapar dan haus, mereka singkirkan demi tanah air tercinta.
Mereka mulai bersembunyi di semak-semak. Mobil patroli tentara Israel telah mulai masuk melewati garis perbatasan.
“Siap-siap!” komando Syamil.
Tentara Israel turun dari mobilnya. Lengkap dengan senjata api kelas tinggi, dengan pongahnya mereka berjalan.
“Serbuuuu…..”
Puluhan kerikil bahkan ratusan menghujani para tentara Isreal. Mereka pun mulai menembak membAyah buta ke segala penjuru. Meskipun begitu, para Laskar Kerikil tidak gentar, mereka terus menembaki dengan kerikil-kerikil. Bom Molotov pun dilemparkan. Mobil tentara terbakar hebat. Melihat kondisi mobil mereka terbakar, tentara-tentara Israel tersebut kalang kabut.
“Kalian terus tembak mereka. Kami akan mencoba memadamkan api ini.” perintah salah satu tentara berkepala botak kepada para tentara, yang sepertinya atasan mereka.
“Baik kawan-kawan mereka sudah kalang kabut. Terus hujani mereka dengan kerikil dan bom molotov.” kata Syamil, “Ali, mana busur dan anak panah?”
“Ini.” Ali menyerahkan busur dan anak panah kepada Syamil yang memang terkenal jago memanah, hasil ketekunannya belajar pada almarhum ayahnya. Ali juga menyerahkan busur dan anak panah kepada pemuda-pemuda lainnya.
Syamil dan pemuda lainnya, mulai membidik sasaran. Secara serentak anak panah meluncur dengan kencangnya kearah para tentara Israel yang tidak menduga ada serangan ini sebelum nya. WUISHHHH…empat orang tentara tewas, anak panah menancap ditubuh mereka.
“Cepat kalian jangan diam saja. Tembak mereka. Mereka bersembunyi disana.” kembali tentara berkepala botak memberi komando.
Dengan sigap, Zaid mengetahui apa yang akan dilakukan tentara Israel itu, “Mereka akan menembak ke arah kita. Cepat-cepat kita pergi dari sini.”
Semua bergerak. Zaid membantu Syamil berjalan.
Dan tembakan pun membahana di tempat persembunyian mereka yang telah mereka tinggalkan tadi.
“Mampus kalian bocah-bocah…”
Kegirangan tentara Israel yang menduga telah menghAyahsi para Laskar Kerikil terhenti, ketika dari arah lain hujanan kerikil dan anak kembali mengguyur mereka. Tentara botak tewas seketika.
Salah satu mobil berhasil dipadam api nya. Tentara yang tersisa tinggal berjumlah  lima orang dan mengalami cidera dengan wajah bersimbah darah. Tentara yang tewas di angkut, termasuk komandan mereka yang berkepala botak. Mereka kemudian pergi dan menghilang.
Para laskar kerikil keluar dari persembunyian. Mereka berkumpul bersorak atas kemenangan mereka. Takbir kemenangn menggema di senja yang telah mulai merah.
Tapi sorak sorai terhenti, manakala Malik, anak berusia sepuluh tahun jatuh tersungkur ke tanah, darah segar mengalir dari tubuhnya
“Cepat-cepat, bawa Malik ke ambulans, dadanya tertembus peluru….!!!”
Semua pemuda-pemuda dan anak-anak bergerak sigap. Tubuh Malik yang lunglai di angkat bersama.
“Akbar, cepat ambil obat-obatan di kotak itu.” Kata petugas ambulans yang telah mereka kenal dengan baik, “Kau basuh dulu luka-lukanya.”
“Baik”
“Pak Barqi, darimana kalian mendapat obat-obatan ini?” Tanya Syamil.
“Alhamdulillah, kemarin baru datang bantuan dari Indonesia.”
“Indonesia?”
“Ya, Indonesia.”
“Aku tahu Indonesia. Kata Ustadzah Laila, negara ini terletak di Asia Tenggara. Sebuah Negara yang memiliki pemeluk agam Islam terbesar di dunia.” Kata Zaid.
“Subhanallah. Benarkah itu Zaid???”
Zaid mengangguk.
“Aku yakin, saudara-saudara kita disana pasti akan membantu perjuangan kita disini.”
“Tentu saja. Kata Ayah, waktu masih muda dulu, beliau memiliki seorang sahabat dari Indonesia yang ikut sama-sama berjuang ketika pecah perang Arab-Israel. Tetapi, sahabat Ayah itu syahid.”
“Innalilahi. Semoga berkah Allah untuknya.”
¤ ¤ ¤
Puluhan pesawat tempur terbang di langit Gaza. Tank-tank tempur masuk bagaikan semut yang siap mengerumuni gula untuk dihAyahskan. Zionis Israel meyerang dengan kekuatan penuh untuk membalas tewasnya tentara mereka oleh pemuda-pemuda Gaza.
Bom-bom dari atas diluncurkan bak hujan. Gaza semarak oleh kepulan asap-asap. Korban berjatuhan, tubuh mereka melepuh setelah terkena bom tersebut. Ternyata lagi-lagi Israel menggunakan bom posfor putih yang dahsyat.
Syamil dan kawan-kawan terus menyusun strategi. Orang-orang tua pun tidak tinggal diam. Sesegera mungkin kaum wanita dan anak-anak kecil diungsikan ketempat yang aman.
“Allahuakbar….Allahuakabar…” takbir membahana seiring dengan lembaran-lembaran ribuan kerikil dan bom-bom molotop. Tidak sepadan memang dengan senjata Israel, tapi Allah bersama mereka, para tentara Israel banyak yang tumbang dan lari menghindar.
Intensitas tembakan tentara Israel meningkat. Rumah-rumah hancur, korban terus berjatuhan. Seorang wanita tertembak di dadanya.
“Ibu…Ibu…!!!” syamil berlari kearah wanita tersebut, yang ternyata ibunya. “Ibu!”
Tarikan nafas ibunya naik turun, airmatanya mengalir dari matanya yang bening. Rasa sakit didadanya tidak tertahankan lagi. Dalam keadaan yang demikian, ibunya sempat berkata, “Selamatkan tanah kita anakku!” dan nafasnya pun hilang. Ibunda Syamil telah pergi.
Syamil tidak mampu membendung rasa sedihnya. Hatinya memberontak. Dibantu oleh rekan-rekannya, ibundanya diangkat menuju tempat yang aman.
Syamil memungut beberapa kerikil, dihadangnya tentara-tentara Israel yang dengan pongahnya menembak apa yang terlihat.
“Ini untuk Allah, tuhan yang telah kau ingkari, Allahuakbar…!!!” satu kerikil dilemparnya.
“Ini untuk Muhammad bin Abdullah, Rasul Allah yang kau ingkari.” Kerikil kedua pun dilempar.
“Ini untuk Islam, agama Allah yang kau dustai.” Kerikil ketiga dilempar.
“Ini untuk Palestina, bumi para Anbiya yang kau jajah dan kau bunuh penduduknya.” Lemparan keempat mengarah ke kepala salah satu tentara.
“Ini untuk Ibu, yang kau tembak dadanya hingga tak bernyawa.” Kerikil kelima dilempar, airmatanya terus mengalir.
Lima kerikil yang dilempar oleh Syamil disambut oleh tembakan tentara-tentara Israel kea rah Syamil. Bertubi-tubi tembakan mereka mengenai tubuh Syamil. Dengan segala upaya Syamil terus berlari dengan tongkatnya dan melempar sisa-sisa kerikil yang ditangannya kea rah tentara-tentara Israel.
Tanpa diduga dari arah samping, sebuah roket meluncur kencang kearah tubuh Syamil. Tubuhnya terhantam keras dan tercerai berai. Syamil syahid oleh tembakan roket Apache Israel. Ini mengingatkan pada kematian Syekh Ahmad Yasin yang juga meninggal akbat tertembak roket. Tubuhnya juga tercecer kemana-mana.
Teman-temannya terpana. Semangat menjemput mati syahid nan suci terus mebuncah dihati mereka. Selama Israel masih berada ditanah Palestina, perjuangan ini tidak akan pernah berhenti.
¤ ¤ ¤
waslm

Comments

Yang Mungkin Anda Suka

Sistem Kerja Mesin Fotocopy

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Dokumen merupakan salah satu sarana yang sangat penting bagi kehidupan manusia diera modern ini. Meskipun perkembangan teknologi dari masa ke masa terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan, semisal laptop, internet dan teknologi informasi lainnya.Sarana dokumen masih menjadi sarana yang sangat vital untuk berlangsungnya kehidupan. Daridunia sekolah, kampus, dan perkantoran pun masih menggunakan dokumen sebagai kebutuhanmereka sehari-hari.